PEMBAHARUAN PEMIKIRAN HUKUM ISLAM PASCA KEJUMUDAN

Oleh: Anik Wahyuni, Dewi Afidatul. F, Eni Suherlina

Pada pertengahan abad ke-13, muncul upaya reformasi (pembaharuan) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam. Usaha ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereka akibat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri. Di pihak lain ada juga usaha-usaha non muslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan dengan itu banyak Negara-negara Islam ditundukkan Barat di bawah kekuasaannya.
Dalam pada itu, dunia pada umumnya, terutama barat yang semula jauh ketinggalan dibandingkan dengan dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum muslimin, beralih ke Barat. Mereka telah mengemukakan masa keemasannya.
Kemajuan di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai peradapan dunia ketika itu tidak terlepas dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir rasional mereka, yang disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern. Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia Islam ke arah peradapan modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.

B. Usaha-Usaha dalam Pembaharuan
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri dari dongeng Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani (1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat ilmu. Bahkan, al-qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini. Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agara kita tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan, yaitu tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya. Ajaran Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi, abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul disesuaikan dengan laju peradapan modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak terikat pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli hukum yang lebih esuai dngan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’ yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. Misalnya, seseorang bertanya kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena keluar darah. Maka ulama itu mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu bertanya kepada ulama Hanafiyah tentang batal wudlu karena menyentuh kemaluan. Maka ulama itu menyatakan bahwa wudlunya tidak batal. Apabila orang itu mengamalkan fatwa itu di dalam wudlunya, yakni beriktikad wudlunya tidak sah pula menurut ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang demikian telah mengamalkan talfiq.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-syatibi, al-Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185), dia tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesemua usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah.
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi kejayaan sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh Waliyullah al-Dahlawi dari India. Persoalan sekarang, bisakah tasyri’ Islam kembali mengalami masa gemilang seperti pada masa Rasulullah dan masa sahabat? Tentu kembali kepada kaum muslimin sendiri. Kalau mereka mau bekerja keras, berijtihad dan beramal seperti yang dilakukan kaum muslimin pada awal sejarah. Mereka akan meraih kegemilangan itu. Islam adalah menghidupkan kembali ijtihad.

C. Pentingnya Kebangkitan Hukum Islam
Keharusan kebangkitan hukum Islam, sebagaimana telah dirintis oleh para pembaharu diatas, bukan hanya sebagai tuntutan sejarah, tetapi menjadi kebutuhan intrinsik dalam eksistensi hukum Islam itu sendiri. Sebab, ketika hukum Islam atau fiqih tidak mampu bangkit dari keterpurukannya, berarti hukum Islam telah memfosil. Dia tidak akan mampu menjawab berbagai persoalan yang tentu saja datang silih berganti. Dari hari ke hari, persoalan terus saja datang. Dan ini membutuhkan resposibilitas dari hukum Islam.
Melihat realitas yang terus berkembang, keinginan dan usaha untuk membangkitkan kembali hukum Islam sebenarnya terus menerus dilakukan. Walaupun juga harus disadari, usaha ini masih baru pada tahap yang masih awal dan jauh dari harapan.
Secara sederhana, gerakan pembaharuan merupakan upaya, baik secara individual maupun kelompok dalam kurun waktu dan situasi tertentu untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan praktek keIslama yang telah mapan kepada pemahaman dan pengalaman baru. Dalam konteks hukum Islam, tentu saja titik fokus perubahan adalah hukum Islam.
Pembaharuan diperlukan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebab, telah terjadi banyak perubahan dari nilai, sistem dan sekaligus beragam persoalan, terutama persoalan hukum Islam.
Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai kontrol sosial. Kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai cetak biru Tuhan yang berfungsi sebagai kontrol terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu dalam konteks ini, hukum Islam di tuntut lebih akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab, kalau tidak besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi bagi kepentingan umat. Karena itu, apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukum, akan hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya.