APAKAH NALAR ITU?

Dalam catatan singkat ini saya ingin mengulas pengertian nalar secara etimologis dan elementer, bukan secara filosofis. Dalam pengertian yang banyak kita kenal, nalar adalah pikiran. Pengertian ini tidak salah, tetapi dalam pengertian yang umum kita kenal itu, nalar yang dimaksud lebih kepada pengertian secara logika (otak kiri). Sekalipun ini juga tidak salah, tetapi apabila dikaitkan ke darimana istilah nalar berasal, maka pengertian tersebut menjadi kurang lengkap, karena dalam nalar juga terkandung kompetensi otak kanan.

Nalar adalah istilah yang berasal dari bahasa Jawa. Untuk membedah makna nalar ini, maka kita juga perlu meninjaunya dari huruf Jawa yang membentuknya, yakni ha na ca ra ka – da ta sa wa la – pa da ja ya nya – ma ga ba tha nga. Masing-masing huruf Jawa ini memiliki arti atau makna tertentu. Nah, kembali ke istilah nalar, maka kita dapat mengetahui bahwa nalar ini dibentuk dari huruf-huruf na, la, dan ra.

Huruf Na artinya adalah telanjang bulat, terbuka, transparan, bebas. Makna dari arti-arti ini adalah bahwa manusia lahir di dunia dengan telanjang bulat, tidak membawa apa-apa kecuali yang ada pada dirinya, yakni badan, otak, rasa, dan ruh. Badan adalah fisik dari siapa yang lahir. Otak adalah benda yang berada di dalam batok kepala, yang menjadi pusat kendali dari aktivitas internal dan eksternal dari seseorang. Rasa adalah jiwa yang senantiasa bergejolak untuk memberikan respon enak-tidak enak, senang – tidak senang, baik – buruk, keindahan – keburukan, cinta-kasih sayang dan benci, dan sebagainya. Ruh adalah sesuatu yang membuat seseorang itu hidup. Tanpa ruh ini, manusia dikatakan mati. Ruh adalah sejatinya “aku”. Tanpa ruh, “aku” tidak ada. Tetapi dengan ruh, “aku” menjadi abadi di SisiNya. Dengan bekal yang ada pada dirinya lah manusia menjalani hidupnya.

Siapapun yang menyaksikan sebuah kelahiran manusia baru, ia dapat dengan mudah dan leluasa melihat si manusia baru itu secara transparan dan terbuka. Dengan demikian kelahiran itu sendiri mengandung makna kebebasan, dimana seorang anak manusia lahir dari dunia yang sempit (di dalam rahim ibu) ke dunia yang luas.

Huruf La artinya adalah lelakuning urip atau perjalanan hidup dan makna kehidupan. Setelah lahir, setiap manusia menjalani hidup dan memaknai hidupnya apakah pada akhirnya mempunyai makna hidup atau tidak hidupnya tidak bermakna (tidak berguna). Dalam pengertian ini kita mendapatkan makna bahwa kehidupan itu sesungguhnya panjang, tidak pendek. Dengan kata lain, orientasi jangka panjang harus menjadi orientasi hidup. Tetapi sering dalam tindakan sehari-hari kita berpikir untuk jangka pendek (myopic), sering kali membawa nikmat, tetapi membawa sengsara di kemudian hari. Orang Jawa sering memberikan nasihat dalam sebuah ungkapan nalare sing dhowo yang artinya berpikirlah untuk jangka panjang. Jangan terbuai dengan kenikmatan sesaat atau jangka pendek. Hidup adalah perjuangan dan berjangka panjang. Lebih baik hidup berjuang untuk mencapai hidup sejahtera di masa depan, daripada berfoya-foya di saat ini tetapi sengsara di masa depan. Berakit-rakit dahulu, berenang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Begitulah kira-kira arti dari huruf La.

Huruf Ra artinya adalah rasa atau emosi. Bagi orang Jawa Rasa menduduki posisi yang amat penting. Orang Jawa menganggap rasa bukan lah terpisah dari pikiran. Karenanya orang Jawa dikenal juga sebagai bangsa yang berpikirnya dengan rasa. Orang modern sekarang mengenal rasa ini sebagai emotional intelegent atau kecerdasan emosi yang tidak jauh berbeda dengan pemahaman orang Jawa itu. Di tanah Jawa ada sebuah nilai yang senantiasa dipesankan oleh orang-orang tua, yakni :

sing iso rumongso
ojo rumongso iso

(yang bisa merasa, jangan merasa bisa)

Pesan yang nampak sederhana ini sebenarnya sangat kaya makna. Berbeda dengan dengan kita hari ini yang dianggap sebagai manusia modern, karena kesibukan, kehidupan yang materialistik, dan lebih cenderung rasional, hampir-hampir tidak memiliki rasa, atau cenderung abai terhadap nilai-nilai rasa, seperti empati, toleran atau bertenggang rasa, pengendalian diri, dan sebagainya. Hampir semuanya diukur dengan logika, material, dan hal-hal yang bisa diukur lainnya. Hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan pun didasari dengan logika dan cenderung kontraktuil. Ketika secara logika sudah tidak membenarkan hubungan itu, jalan perceraian pun dilakukan. Nilai-nilai pengorbanan kepada masing-masing tidak lagi penting untuk dilakukan daripada ego (keakuan) yang mendorongnya untuk lebih melakukan tuntutan daripada tanggung jawab dan kewajiban.

Dengan bisa merasa, setiap orang dapat menenggang rasa, bertoleransi, berempati, dan mampu mengerti mengapa kadang-kadang kita perlu mengalah untuk menang. Dale Carnegie pernah memberikan nasehat, jangan mengkritik karena tidak ada seorang pun suka di kritik, apalagi di muka umum.

Salah satu contoh, dalam kehidupan pers, bahwa meskipun berita yang bernuansa kritik, kecaman, atau mungkin berita yang tidak benar, tetap diberikan ruang untuk hak jawab bagi orang yang dikritik, tetapi sejak pers didirikan, tidak ada hak jawab yang mampu mengembalikan reputasi atau kondite atau nama baik orang yang dikritik itu. Masyarakat cenderung lebih percaya pada berita pertama yang keluar saat itu, tanpa melihat apakah benar atau salah. Itu semua terjadi karena manusia modern tidak mampu merasa. Sehingga berita berimbang menjadi sulit dicapai.

Sementara itu, jangan merasa bisa (ojo rumongso iso), artinya adalah orang yang ambisius dan tidak mampu mengukur diri. Banyak pemimpin sebenarnya tidak mampu menjadi pemimpin, tetapi karena merasa bisa, akhirnya kepemimpinannya berakhir dengan su’ul khatimah (akhir yang buruk).

Merasa bisa terkadang memang perlu, tetapi tetap harus terukur sekalipun bersifat kualitatif. Ini biasanya terkait dengan kesadaran waktu. Segala sesuatu itu membutuhkan waktu untuk bermanifestasi (mewujud atau menjadi). Setiap orang secara potensial memang memiliki potensi untuk mampu jadi apa saja, atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Tetapi bagi orang yang memiliki kesadaran waktu, merasa bisa-nya, diletakkan dalam konteks kesadaran waktu itu. Nah, dengan kesadaran waktu itu, apabila dirinya menginginkan sesuatu, sementara saat ini, belum cukup ‘modal’ untuk dirinya harus bersabar menunggu dengan berusaha menjadikan dirinya berada pada posisi ‘mampu’ untuk meraih sesuatu yang diinginkannya itu. Itu yang dikatakan oleh orang Jawa sebagai lek wis titi wancine yang artinya kalau memang sudah waktunya, tidak ada yang bisa menghalangi takdir itu datang.

Dari uraian tersebut di atas, kita telah mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang makna nalar dari huruf-huruf pembentuknya. Dari sini kita mendapatkan makna nalar sebagai sesuatu yang memungkinkan manusia untuk memilih dan berpikir secara bebas namun dipandu dan dituntun oleh rasa-nya (rasa jati atau nurani bukan rasa amarah atau rasa benci) dalam rangka menjalani hidupnya yang panjang. Itulah nalar.

Dalam pengertian nalar seperti ini, sebenarnya sejak mula nalar sesungguhnya adalah sebuah cara berpikir yang bersifat holistik dan utuh, tidak hanya menggunakan otak kiri saja melainkan juga dengan menggunakan otak kanan. Dengan bernalar, maka sesungguhnya kita mensinergikan otak kiri dan otak kanan.