TASYRI’ & SUMBER HUKUM PADA MASA SAHABAT KECIL & TABI’IN

A. PEMBINAAN HUKUM PADA MASA SAHABAT KECIL
Periode ini di mulai dari perintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan tahun 41H. sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan arab yakni pada awal abad ke II H. Dalam gambaran politik Mu'awiyah adalah mendiamkan huru hara kejiwaan yang menentang dari golongan kedua ( syiah ) dan meringankan terhadap golongan pertama ( khawarij ). Oleh karena itu hidupnya sampai akhir hidupnya banyak terjadi huruhara yang memerangi persatuan kalimah islam. Penduduk madinah membuat huru hara menuntut pemecatan Yazid. Husain bin Ali bermaksud ke Irak dengan dugaan bahwa Ia akan mendapat pertolongan dari pendukung ayahnya untuk mengembalikan hak yang dirampasnya. Yazid menentang Abdullah bin zubair yang memegang Mekah. Dddan pendiududk Madinah digentarkan dalam huruhara itu dan mereka amat sangat sebagaimana digentarkannya Husain waktu keluarnya dia terbunuh. Dikatakan bahwa dia dan beberapa keluarganya memasuki perbatasan Irak ( pembunuhan itu dilakukan )oleh penduduk Irak itu sendiri. Hampir saja Ibnu Zubair mengalami nasib seperti itu seandainya Yazid tidak meninggal.
Sesudah matinya Yazid fitnah terus berkobar hingga datangnya orang yang mempunyai kemantapan hati yang benar dan cita-cita yang tinggi, yaitu Abdul Malik bin Marwan, maka bara fitnah itu dapat dipadamkan dengan dibunuhnya Ibnu Zubair di Mekah. Namun tidak cukup sampai disini saja, sebentar setelah terhentinya huruhara itu, bangkitlah huruhara besar yang melawannya dengan pimpinan Abdur Rahman bin Mihammad bin Asy’ats Al-kindi, namun kesulitan itu berekhir dan datanglah masa Al walid bin Abdul Malik, masa itu adalah semanis manis dan seindah indah masa Bani Umayah.
Setelah berganti ganti pemimpin yang akhirnya pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang ingin menyebrakan keadilan dan persamaan diantara manusia, dan ia mencela terhadap orang orang yang terdahulu ( raja-raja ) karena mengambbil apa yang ada didepan mereka yakni apa yang disebut kezhaliman-kezhaliman yang sampai ke Baitul Mal.dalam pemerintaha, Ia mempunyai pendapat yang menyerupai khawarij, karena itu ia mengeluarkan kaumnya dan disediakannya untuk orang yang lebih baik ilmu dan agamanya, tetapi hal itu tidak sempurna baginya, karena cita-cita itu dilakukan dengan tergesa gesa dan sebagian pengaruh lemah lembut dan tidak mencampuri urusan manusia dan pada masanya berdiri ajakan rahasia kepada Bani Abbas pada abad kedua. Yang mana ajakan rahasia tersebut titik persoalannya ingin menggulingkan daulat Umayyah.
Pertengahan abad ke-1 H sampai awal abad ke-2 H. Periode ini merupakan awal pembentukan fiqh Islam. Sejak zaman Usman bin Affan (576-656), khalifah ketiga, parasahabat sudah banyak yang bertebaran di berbagai daerah yang ditaklukkan Islam. Masing-masing sahabat mengajarkan Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW kepada penduduk setempat. Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah bin Mas'ud (Ibnu Mas'ud), Zaid bin Sabit (11 SH/611 M-45 H/665 M) dan Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) di Madinah dan Ibnu Abbas di Makkah. Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai dengan keadaan masyara'at setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing yang dikenal dengan para thabi'in. Para thabi'in yang terkenal itu adalah Sa'id bin Musayyab (15-94 H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27-114H) di Makkah, Ibrahiman-Nakha'i (w. 76 H) di Kufah, al-Hasan al-Basri (21 H/642 M-110H/728M) di Basra, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka ini kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyara'at setempat. Persoalan yang mereka hadapi di daerah masing-masing berbeda sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula. Masing-masing ulama di daerah tersebut berupaya mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka, sehingga muncullah sikap fanatisme terhadap para sahabat tersebut.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan para sahabat ini kemudian muncullah dalam fiqh Islam Madrasah al-hadits (madrasah = aliran) dan Madrasah ar-ra'yu. Madrasah al-hadits kemudian dikenal juga dengan sebutan Madrasah al-Hijaz dan Madrasah al-Madinah; sedangkan Madrasah ar-ra'yu dikenal dengan sebutan Madrasah al-Iraq dan Madrasah al-Kufah.
Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Madrasah al-Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah SAW, di samping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak banyak memerlukan logika dalam berijtihad. Sedangkan Madrasah al-Iraq dalam menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Hal ini mereka lakukan karena hadits-hadits Rasulullah SAW yang sampai pada mereka terbatas, sedangkan kasus-kasus yang mereka hadapi jauh lebih berat dan beragam, baik secara kualitas maupun kuantitas, dibandingkan dengan yang dihadapi Madrasah al-Hijaz. Ulama Hijaz (Hedzjaz) berhadapan dengan suku bangsa yang memiliki budaya homogen, sedangkan ulama Irak berhadapan dengan masyara'at yang relatif majemuk. Oleh sebab itu, menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, tidak mengherankan jika ulama Irak banyak menggunakan logika dalam berijtihad.
Pada periode ini, pengertian fiqh sudah beranjak dan tidak sama lagi dengan pengertian ilmu, sebagaimana yang dipahami pada periode pertama dan kedua, karena fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara' yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Di samping fiqh, pada periode ketiga ini pun usul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu keislaman. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan dan istislah, telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan terjadi, sehingga bermunculanlah fiqh iftirâdî (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang)
B. KEISTIMEWAAN-KEISTIMEWAAN PADA PERIODE INI
1. perpecahan kaum muslimin dalam politik sebagaimana dalam gambaran politik, maka masing masing golongan yaitu Khawarij dan syi’ah mempunyai kesenangan khusus. Pendukung ali mempunyai kecenderungan kepada Ali dan keluarganya dan setiap orang yang ada pada setiap partainya, Ia selalu menghindari perpecahan atas musuh-musuh dan orang-orang yang memeranginya, Khawarij selalu cenderung kepada Abu BAkar, Umar dan orang yang mengikutinya, dan mereka melepaskan diri dari Usmant, ali dan Mu’awiyah serta orang yang mengikuti mereka. Pendukung Mu’awiyah atau jumhur islam lari dari dua golongan itu dan tidak menempatkan timbangan untuk mereka.
2. terpisahnya ulama’ muslimin dalam Negara-negara besar Islam, karena para sahabat-sahabat pindah dari Madinbah ke tempat-tempat tinggal baru pada Negara-negara besra. Dan dikalangan mereka lahirlah sekumpulan Tabi’in besar yang bersekutu dengan mereka dalam berfatwa dan para sahabat mengakui mereka dalam hak persekutuan pada kedudukan ini.
3. tersiarnya riwayat hadist. Penghalang periwayatan hadist telah hilang, sahabat-sahabat yang masih ada setelah Khulafaur Rasyidin, menjadi tempat pemberhentian dalm bepergian dari Negara-negara besar untuk minta fatwa dan belajar. Oleh karena hadist-hadist tidak terkumpul dalam satu negeri bahkan tidak dalam satu buku karena shabat yang berfatwa telah terpisah pisah pada Negara-negara besar, penduduk setiap Negara meriwayatkan dari sahabat yang tinggal disitu, maka pada setiap Negara tidak mempunyai hadist yang tidak ada pada negeri lain
4. munculnya dusta pada hadist Rasululloh S.A.W. itulah yang ditakutkan oleh Abu Bakar dan Umar.
Salah satunya adalah Mereka mengetahui adanya kebohongan dalam hadist Rasululloh. Mereka bermacam –macam, sebagiannya ada orang yang membuat buat atas Belau dengan sesuatu yang sama sekali Beliau tidak mensabdakannya seperti oleh orang-orang Zindik dan yang menyerupainya dari orang-orang yang tidak mengharapkan kehormatan agama. Adakalanya menurut sangkaan mereka dan demi agam sseperti bodohnya orang-orang yang beribadah yang membuat hadist tentang keutamaan –keutamaan dan hal-hal yang menggemarkan beribadah. Dan masih banyak lagi sangkaan-sangkaan yang lain. Kumpulan-kumpulan semuanya itu telah nyata, menururt orang yang ahli dalam pekerjaan ini dan ahli ilmu rijal ( rijalul hadist ) .
C. IJTIHAD PADA PERIODE INI
Dalam hal ini penetapan hukum atas suatu masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya, untuk mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari periode Rasulullah saw sampai sekarang
ALQUR’AN DAN SUNNAH
Adapun Alqur’an, maka Alloh Yang Maha Suci telah menyempurnakan pemeliharaannya dengan apa yang dijalankanNya terhadap Khulafaur Rasyidin. Banyak sahabat dan Tabi’in telah masyhur dengan menghafalnya dan membacanya. Dari mereka inilah orang-orang yang tidak terbatas banyaknya diseluruh Negara-negara besar menerima Al-qur’an.
Adapun Assunah karena banyak periwayatannya pada periode ini dan terputusnya segolon ulama’ Tabi’in karena riwayatnya tidak memperoleh perhatian untuk dibukukan, namun tidak dapat diterima oleh akal kalau keadaan ini berlangsung lama, karena jumhur beranggapan bahwa assunah itu menyempurnakan pembinaan hokum yang berfungsi untuk menerangkan Al-qur’an.
Di antara para sahabat Nabi yang berada dalam baris terdepan menggunakan kata ijtihad dengan makna khusus ini adalah khalifah kedua Umar bin Khattab ra. Sementara di kalangan tabi’in Rabi’ah bin Abdur Rahman dan Abu Hanifah dari kalangan tabi’ tabi’in. Bahkan Abu Hanifah dengan tegas menjadikan ra’yu sebagai ciri khas mazhabnya
Dalam sejarah perkembangan kata ijtihad makna khusus ada tiga bentuk penafsiran.
Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Ijtihad menjadi sumber hukum syar’i setelah Al-Quran dan Sunnah
Kedua, Ijtihad makna khusus berada setara dengan Al-Quran dan Sunnah
Ketiga, Ijtihad terkadang lebih didahulukan dari Al-Quran dan Sunnah
Konsep ijtihad makna khusus yang diamalkan oleh Ahli Sunnah dan lebih khususnya para sahabat merupakan sebuah keharusan sejarah. Sunnah dalam konsep Ahli Sunnah terbatas pada Nabi Muhammad saw. Hal ini membuat mereka harus segera mencari sumber lain selain dua sumber asli. Hal ini berbeda dengan Syi’ah yang meyakini konsep Imamah menganggap sunnah berlanjut hingga 12 Imam. Berdasarkan kenyataan bahwa sunnah hanya terbatas pada Nabi, membuat Ahli Sunnah harus mengambil sikap ini. Hal ini kemudian ditambah dengan perluasan wilayah islam menambah kerumitan tersendiri bagaimana islam, dengan berpegangan hanya dengan Al-Quran dan Sunnah, harus menyelesaikan masalah-masalah yang baru muncul. Dan satu faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana menyimpulkan sebuah hukum dari dua sumber asli untuk menyelesaikan problem yang ada. Dengan kata lain, pada masa itu ilmu ushul belum ada. Metode penyimpulan hukum dari dua sumber asli belum terpikirkan oleh para sahabat.
Sumber hukum yang terbatas dan konsep yang belum ada ditambah perluasan wilayah dan permasalahannya adalah faktor asli yang membuat para sahabat mengambil sikap ijtihad.