PENETAPAN HUKUM DAN SUMBER HUKUM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN

A. Pola Umum Penetapan Hukum Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para Khulafaur Rasyidin adalah melanjutkan penetapan hukum seperti apa yang telah berjalan sejak masa Nabi SAW segala ketentuan yang telah berlaku pada masa hidup beliau dipandang sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak dapat diubah. Ketika berhadapan dengan Fatimah binti Rasul Allah SAW, Abu bakar r. a. berkata : “Demi Allah saya tidak akan membiarkan masalah, dimana saya melihat Rasulullah SAW melakukannya, niscaya aku melakukannya juga”
Berkenaan dengan keengganan sebagian orang untuk membayar zakat Abu Bakar ra. Berkata : “Demi Allah jika mereka menolak pada satu ikatan yang mereka tunaikan pada masa Rasulullah SAW, maka aku akan perangi orang yang menolaknya. Sesungguhnya zakat adalah kewajiban atas harta, demi Allah akan aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat”.
Jika tidak menemukan ketentuan yang jelas dari Rasul Allah SAW, maka penetapan suatu hukum mereka dasarkan atas hasil ijtihad, baik secara jama’i, maupun fardi. Sekalipun tidak menganggap hasil ijtihadnya benar secara mutlak, mereka tahap menerapkan hukum-hukum ijtihad itu dengan tegas, sepanjang hal itu menyangkut bidang-bidang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab mereka.
Adapun dalam masalah-masalah individual yang tidak meminta keterlibatan pemerintah, para khulafaur Rasyidin hanyalah menempatkan diri sebagai mujtahid yang sejajar dengan para mujtahid lainnya dari kalangan sahabat. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa mereka mewariskan sejumlah perbedaan pendapat. Dalam hal ini, tiap-tiap orang bebas mengamalkan pendapatnya sendiri atau mengikuti salah satu pendapat yang ada tanpa terikat atau terpengaruh oleh pendapat yang lain.
Kemudian, jika setelah memperoleh kesimpulan hukum melalui ijtihad, mereka menemukan ketentuan lain dari sunnah Rasul Allah SAW, mereka selalu meninggalkan pendapatnya dan kembali pada ketentuan sunnah itu. Hal seperti itu juga berlaku bagi kasus-kasus yang telah diputuskan berdasarkan hasil ijtihad. Suatu putusan atas perkara tertentu tidaklah harus mempengaruhi putusan terhadap kasus lain yang mirip dengannya.

B. Contoh-contoh Penetapan Hukum Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam masalah-masalah yang sifatnya individual Khulafaur Rasyidin senantiasa memberikan kebebasan bagi tiap-tiap orang untuk beramal dan memberikan fatwa sesuai dengan hasil ijtihadnya sendiri. Oleh karena itu, keragaman tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah dalam pengamalan syariat di masa kini. Misalnya,
- Umar Bin Khattab ra berpendapat bahwa iddah orang hamil yang kematian suami adalah melahirkan, sedangkan Ali Bin Abi Thalib mengatakan iddahnya adalah masa yang terpanjang antara melahirkan dan 4 bulan 10 hari.
- Abu Bakar ra berpendapat bahwa para saudara tidak berhak mendapatkan bahwa saudara tidak berhak mendapatkan warisan apabila mereka bersama-sama dengan kakek, tetapi Umar ra. Dan Zaid bin Tsabit ra. Memberi mereka bagian bersama-sama dengan kakek.

Untuk kasus-kasus yang melibatkan campur tangan penguasa, Khulafaur Rasyidin selalu bertindak dengan tegas, mengeluarkan perintah, menetapkan keputusan hukum, ataupun menggariskan peraturan-peraturan, yang mereka pandang sebagai hal yang paling benar dan paling baik.
Misalnya :
- Abu Bakar ra. Memerintahkan penulisan Al-Qur'an di dalam mushaf dan pada gilirannya Usman bin Affan ra. Memerintahkan penggandaannya dengan penulisan yang seragam.
- Umar bin Khattab ra. Mengatur pelaksanaan shalat tarawih berjamaah dengan menunjuk Ubay bin Ka'ab ra. sebagai imam.
- Umar bin Khattab ra. Memerintahkan agar adzan di kumandangkan dua kali menjelang shalat Jum’at.
- Umar bin Khattab ra. Menerima zakat madu untuk dikutip dan dibawa oleh Abdullah bin Rab ra.

Dalam pada itu, untuk menjelang kelancaran pelaksanaan penetapan hukum secara umum, para Khulafaur Rasyidin senantiasa melakukan upaya-upaya perbaikan dalam berbagai bidang, seperti penataan administrasi, pembentukan diwan-diwan, pembentukan berbagai lembaga sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang mereka hadapi.
Menyangkut hal itu, tampaknya para sahabat selalu bersikap terbuka dan siap menerima aneke perubahan, perbaikan dan pengembangan. Para Khulafaur Rasyidin, dengan selalu bermusyawarah dan meminta pendapat sahabat lainnya senantiasa mencari bentuk-bentuk pengelolaan terbaik dan tanpa ragu-ragu mereka menerapkannya, demi kebajikan umat Islam.